Ajakan Mengaji dalam “Sunyi” dari Pak Andi di Yogyakarta
Menginjak kepala lima, kebanyakan dari orang-orang akan memilih untuk menurunkan intensitas kegiatannya dengan dunia luar. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi Pak Elfiandi Nain yang kerap disapa dengan Pak Andi. Postur badan yang masih tegap melangkah, kulitnya yang berwarna sawo matang dan rambut yang mulai memutih seluruhnya menjadi ciri khas dari Pak Andi. Berjuang untuk mengedukasi merupakan tujuan dari segala aktivitasnya. Terlebih, masyarakat yang diedukasi merupakan masyarakat yang memiliki hambatan pendengaran atau ramah dikenal dengan istilah tuli.
Semangat dan perjuangan Pak Andi bagai bara api yang tak pernah padam. Ia bersinar kecil namun menghangatkan sekitarnya. Berbagai liku kendala, banyak keringat dan air mata yang tak terhitung jumlah tetesnya, tetap mengantarkan kesetiaan Pak Andi untuk terus bergerak dalam aktivitas sosial. Hal tersebut terlihat dari banyaknya lembaga sosial yang diikutinya, dimulai dari DIFAGANA (Difabel Siaga Bencana), Gerkatin Kab. Sleman (Gerakan Kesehatan Tuna Rungu Indonesia), dan banyak lainnya.
Tak lupa juga, kesetiaannya pada perjuangan gerakan sosial diimbangi dengan perjuangannya dalam agama Islam. Aktivitasnya yang banyak mengajak teman tuli lainnya untuk dapat memiliki pengetahuan dasar agama dan pembelajaran Al-Qur’an dengan Bahasa Isyarat. “Sebetulnya keilmuan agama saya tak sebanyak para ustadz di luar sana, pengetahuan agama yang saya dapatkan di bangku sekolah dahulu juga dari beberapa pengajian yang saya ikuti menjadi bekal saya untuk menjadi perantara memberikan pengetahuan agama dasar untuk teman-teman saya sama dengan saya memiliki hambatan pada pendengaran,” terang Pak Andi dengan bahasa isyarat.
Atas dasar kebutuhan Pak Andi untuk memiliki sebuah kelompok yang di dalamnya terdapat orang-orang yang peduli pada agama, maka tercetuslah pemikiran untuk membuat sebuah komunitas. Tepat pada tanggal 29 Januari 2023 lalu, disepakati sebuah komunitas yang ia sendiri ketuai, nama komunitas tersebut ialah MULIA (Muslim Tuli Yogyakarta). Bersama dengan beberapa teman tuli lainnya, mereka bergerak untuk dapat mengaji minimalnya setiap minggu satu kali yang dilaksanakan berpindah-pindah dari satu tempat menuju tempat lainnya.
Di balik keteguhan semangat dan keistiqomahan Pak Andi, ada istri yang merupakan seorang tuli juga yang bernama Dwi Rahayu. Akrab disapa dengan Bu Dwi, bersama dengan suaminya mereka bergerak dalam visi dan tujuan yang sama yaitu kesejahteraan sosial dan peningkatan pemahaman agama bagi kelompok difabel rungu dan wicara.
Sore lalu (9/4) di Grha Tahfizh Daarul Qur’an Yogyakarta kembali dilaksanakan kegiatan rutin bulanan bagi komunitas MULIA, yaitu mengkaji agama dan mengaji Al-Qur’an dengan Bahasa Isyarat. Bertepatan dengan bulan puasa, maka pada kegiatan pada kali itu diisi dengan kajian sambil menunggu waktu berbuka puasa dengan tema “Menuju Malam Lailatul Qadar, Sudah Siapkah Kita?”. Bersama dengan 20 teman tuli lainnya semua yang hadir menambah wawasan dan mengenal malam mulia diturunkannya Al-Qur’an.
Akhir sesi acara berbagi puasa kemarin ditutup dengan harap singkat Pak Andi dan teman-teman tuli lainnya. “Harapan kami tidaklah rumit dan banyak, hanya saja kami menginginkan semakin bertambahnya teman-teman tuli yang sadar akan pentingnya agama, juga semakin banyak masyarakat yang peduli dan membuka akses pengetahuan agama bagi kami (tuli)”. Bismillah semoga semua harap yang terucap dapat dikabulkan. Aamiin