Sabihin dan Salihin Kembali ke Rumah
Sabihin (33) masih ingat dengan jelas ketika gempa besar mengguncang Nusa Tenggara Barat (NTB) akhir Juli 2018 lalu. Kala itu ia dan Fitriani, istrinya tengah asyik menonton siaran langsung balapan motor di layar televisi saat rumahnya terasa berguncang. Reflek, Fitriani berlari ke luar sementara Sabihin masih terpaku di tempat ia duduk. Sadar sang suami tak keluar rumah, Fitriani kembali ke dalam dan bergegas menarik suami keluar rumah. Belum jauh melangkah, rumah mereka hancur seketika.
“Saya menyaksikan rumah hancur. Saat itu pikiran saya langsung kosong. Habis semua dalam pikiran saya saat itu,” ujarnya.
Ingatan Salihin (70) akan gempa yang mengguncang NTB juga masih terekam dengan baik. Dengan terbata, ia mengisahkan saat gempa menghancurkan rumahnya. Saat itu ia bersama istri dan anaknya sedang makan bersama. Baru seusai nasi masuk ke mulutnya saat bumi berguncang dengan hebat. Acara makan bersama pun berganti suasana mencekam. Sabihin serta istri dan warga lainnya berlari sejauh 1 km di tengah gelap gulita mencari daerah yang tinggi, mengingat rumor tsunami akan datang.
Sejak itu hari-hari Sabihin, Salihin serta masyarakat NTB dihabiskan dalam tenda pengungsian. Aktivitas mereka terhenti mengingat kerusakan yang parah di mana-mana. Empat bulan lamanya mereka tinggal di pengungsian. Selain menimbulkan korban jiwa dan kerugian secara ekonomi, gempa ini juga menimbulkan trauma mendalam pada warga. Mereka masih takut kembali membangun rumahnya mengingat gempa susulan masih kerap terjadi.
Reruntuhan rumah mereka biarkan saja hingga akhirnya PPPA Daarul Qur’an mencetuskan membangun kembali rumah warga dengan apa yang dinamakan rumah “recycle house”. PPPA Daarul Qur’an sendiri masuk ke NTB satu hari setelah gempa besar terjadi. Sejumlah aktivitas dari mulai evakuasi, recovery dan trauma healing dilakukan oleh salah satu lembaga pengelola zakat Nasional ini.
“Saat itu musim penghujan sudah di depan mata. Sementara warga masih trauma dan kesulitan membangun kembali rumah mereka. Hingga kami menginisiasi membangun rumah dengan konsep recycle house,” ujar General Manager Program PPPA Daarul Quran, Jahidin.
Nama recycle house merujuk pada pembangunan rumah yang menggunakan sebagian material baru dan sebagian lain material sisa runtuhan rumah lama. Sisa-sisa reruntuhan rumah warga seperti bata, kusen pintu, dan jendela yang masih dalam kondisi baik dikumpulkan, selanjutnya digabung dengan material baru untuk membangun rumah.
“Adapun kami menyiapkan bahan-bahan yang tidak tersedia seperti semen, pasir, batako, gedek (anyaman bambu),” ujar Jahidin.
Warga tak dikenakan biaya dalam pembangunan rumah ini. Meski begitu, peran warga sangat vital dalam proses pembangunan. Mereka dibagi dalam kelompok yang berisi 10 orang. Secara bergantian warga membangun rumah para anggota kelompok. Hingga akhirnya semua mendapat rumah baru.
Butuh waktu dua bulan bagi warga bergotong royong membangun rumah mereka. Baik pria dan wanita. Mereka bekerja sama demi rumah impian pascagempa. Uniknya, mereka juga mendesain rumah dengan artistik dan menarik. Seperti rumah Sabihin misalnya yang karena desain yang artistik berhasil meraih juara 1 rumah terbaik dan berhak atas hadiah mesin pendingin.
“Saya sebenarnya gak paham cara membangun rumah. Saya belajar aja dari teman. Inspirasi rumah juga saya dapat sehabis saya pulang melaut. Alhamdulillah rumah ini banyak yang senang,” ujarnya.
Saat ini sudah berdiri 187, dari target 1.000 rumah yang masing-masing berada di Desa Melempo, Lombok Timur sebanyak 87 rumah dan di Dasang Lengkong, Lombok Utara sebanyak 100 rumah.
Tidak Sekadar Rumah
Tidak hanya membangun rumah, PPPA Daarul Qur’an juga membangun rumah tahfizh baik di Desa Melempo dan Dasan Lengkong. Bahkan di Dasan Lengkong juga dibangun kembali masjid dan mushola yang sebelumnya hancur terkena dampak gempa.
Rumah tahfizh ini diperuntukkan bagi warga untuk belajar sekaligus menghafal Al-Qur’an. Ada pula pengajar Al-Qur’an yang didatangkan dari luar NTB untuk mendampingi warga. Hebatnya aktivitas belajar Al-Qur’an ini sudah dilakukan sejak warga masih tinggal di tenda pengungsian.
Direktur PPPA Daarul Quran Tarmizi As Shidiq menjelaskan konsep Kampung Qur’an yang dibangun di dua desa tersebut adalah kebiasaan Daarul Qur’an saat membantu di daerah bencana. Saat ini setidaknya telah ada 11 Kampung Al Qur’an di seluruh Indonesia, di antaranya berlokasi di Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Halmahera, Lombok, dan Palu.
“Jadi kami tidak hanya membangun secara fisik, tetapi juga jiwa dan mental mereka. Kami juga berharap akan banyak penghafal Al-Qur’an yang lahir nantinya dari anak-anak Nusa Tenggara Barat,” harap Tarmizi.
Kini setiap pagi dan sore banyak anak di Desa Melempo dan Dusun Legkong yang menghafal Al-Qur’an. Tidak hanya anak-anak para orangtua juga tidak ikut ketinggalan untuk ikut mengaji. Perlahan mereka melupakan luka akibat gempa, trauma mulai hilang berganti senyum ceria menatap masa depan. (Syakib)