Ada Tidaknya Bapak, Adi Tetap Menghafal Al-Qur'an
Bebatuan purba di perbukitan Gunung Kidul Yogyakarta mewarisi sejarah kebesaran tanah Jawa. Ukurannya yang di atas batas wajar dengan warna hitam pekat mengandung asal muasal Kabupaten Gunung Kidul. Warga juga enggan memindahkan atau memanfaatkannya untuk pembangunan.
Termasuk bocah berpeci yang duduk di atas batu besar itu sejak siang tadi. Kedatangan tim PPPA Daarul Qur’an sama sekali tak ia hiraukan. Ia hanya tersenyum dan kembali menuduk sebari berkomat-kamit. Tangannya memegang erat mushaf merah yang ia buka tutup terus menerus.
“Namanya Abi mbak, sudah tiga tahun di sini,” terang Ustazah Nur Hayati (43), Pengasuh Rumah Tahfidz Nurul Qur’an, Gunung Kidul, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Ia pun lanjut bercerita banyak tentang Abi. Abi Khair Syamsudin (16) nama lengkapnya. Ia termasuk santri berprestasi yang memiliki progres hafalan terbaik dibanding 80 santri lainnya di rumah tahfidz ini. Abi sudah memiliki hafalan 18 juz.
Almarhum sang ayah asli Gunung Kidul tepaatnya Kampung Patuk, Wonosari. Bapaknya juga menghafal Al-Qur’an sambil mengisi kajian di daerah itu. Ibunya pun demikian, seorang hafizah yang sampai sekarang masih mengajar TPQ di rumah pribadinya. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya.
Saat tim PPPA Daarul Qur’an mendekati Abi, ia tersenyum malu menanggapi. Dari sini mulai terbuka kisah perjalanan Abi dalam menghafalkan Al-Qur’an. Orangtuanya sudah membiasakan Abi dan saudaranya menghafal Al-Qur’an sejak kecil. Kakaknya sudah hafal 20 juz, adiknya yang masih SD pun juga sudah memiliki hafalan Al-Qur’an.
“Menghafal ya lillahita’ala, ndak pengen apa-apa. Biar saya punya ilmu yang bermanfaat dan iman yang kuat saja. Kata almarhum bapak dulu, kalau saya hafal Al-Qur’an semua kebutuhan saya Allah yang nanggung. Pengen dapat ridho Allah lantaran Qur’an ini,” jelas Abi saat ditanyaan cita-citanya.
Abi masih ingat betul, setiap nasihat yang diberikan mendiang bapaknya saat perjalanan menuju pesantren tahfizh. Juga harapan-harapan bapak untuk Abi dan kakak adiknya. Ia tak menduga kalau itu adalah perbincangan Abi yang terakhir bersama bapak.
“Dulu saya ndak dikasih tau kalau bapak meninggal, baru setelah tiga bulan di pesantren dikabarin kalau bapak sudah ndak ada,” jawab Abi melirih.
Sejak mendengar kabar itu, Abi ingin cepat mengabulkan permintaan mendiang sang ayah menjadi hafizh. Setelah lulus MTS, ia ingin berhenti sekolah untuk fokus menyelesaikan setoran dan memutkinkan hafalan Al-Qur’an di Rumah Tahfidz Nurul Qur’an.
Abi benar-benar percaya dengan pesan terakhir bapaknya, bahwa apapun kebutuhan kita pasti akan dicukupkan Allah SWT jika kita menjaga kalamNya. Termasuk seluruh kebutuhan keluarganya yang sudah enam tahun belakangan ini hidup tanpa bapak. Ibunya, Ibu Mahmudah (42) membesarkan Abi dan dua saudaranya seorang diri. Pun beliau juga masih tetap mengajar TPQ di rumahnya.
Inilah janjiNya bahwa Allah SWT menjamin siapapun yang mau menjaga kalamNya. Tanpa sosok bapak pun keluarga Abi tetap istiqomah menjaga Al-Qur’an. Insyaallah bersama Qur’an, Abi, keluarga Abi, dan seluruh keluarga Qur’an yang ada dimuka bumi ini akan senantiasa dicukupkan segala sesuatunya. Aamiin.
Abi adalah salah satu dari ratusan santri yatim dhuafa yang tengah berjuang menghafal Al-Qur’an. Menyambut bulan Muharam yang penuh kemuliaan ini, PPPA Daarul Qur’an mengajak seluruh masyarakat untuk ikut mendukung perjuangan Abi dan anak-anak lainnya mewujudkan cita-cita dengan berbagi Bingkisan untuk Yatim Dhuafa. (runti/ara)