Kisah Sayyidah Fatimah Az-Zahra: Ketulusan Membawa Kebekahan
Fatimah Az Zahra merupakan putri bungsu Nabi Muhammad SAW dari pernikahannya dengan Siti Khadijah. Sepanjang hidupnya, Fatimah kerap mendampingi Rasulullah dalam berdakwah, terutama sepeninggal ibunya. Fatimah dikenal sebagai putri kesayangan dan “pengawal” Rasul yang memiliki banyak keistimewaan dan keutamaan.
Salah satu sifat Fatimah Az Zahra adalah menjadi seorang wanita yang dikhususkan hanya untuk beribadah kepada Allah, sehingga ia tidak pernah haid. Fatimah Az Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian dikaruniai putra bernama Hasan dan Husain bin Ali. Dalam artikel ini akan mengulik ketulusan Fatimah saat memberi sedekah kepada orang miskin, dari artikel ini kita bisa belajar dan meneladani sifat Sayyidah Fatimah Az-Zahra.
Perjalanan Sayyidah Fatimah
Di kisahkan bahwa suatu hari ada seorang lelaki tua muncul di hadapan Rasulullah. Saat itu, Rasulullah berkumpul bersama para sahabat di masjid setelah menunaikan salat berjamaah.
“Ya Rasulullah. Aku sangat lapar. Tolong bantu aku. Aku juga tidak mempunyai pakaian apapun kecuali yang menempel di badanku. Tolong beri saya..." Orang tua itu meminta maaf dan terdiam.
Melihat keadaan lelaki tua itu, Rasulullah merasa sangat iba. Bagaimana tidak, wajah lelaki tua itu pucat, bibirnya membiru, dan tangannya yang memegang tongkat sedikit gemetar. Namun kebetulan Rasulullah tidak memiliki apa yang dimintanya karena sudah diberikan kepada orang lain.
"Maaf, pak tua. Aku tak bisa memberimu apa pun saat ini. Tapi jangan putus asa. Temui putriku, Fatimah, mungkin dia bisa memberimu sesuatu sebagai sedekah." Jawab Rasulullah.
Maka kakek tua itu pergi menemui Fatimah. Di depan pintu rumah, kakek berkata: “Putri Rasulullah, saya sangat lapar. Saya tidak memiliki apa apa, saya pergi menemui ayahmu tetapi dia sedang tidak membawa apa pun. Dia menyuruhku datang untukmu, mungkin kamu punya sedekah untuk saya?”
Fatimah bingung karena tidak punya cukup barang berharga untuk diberikan. Gaya hidupnya yang sederhana, malah terkadang kekurangan karena itulah keadaannya yang sebenarnya. Sebagai keluarga Rasulullah beliau terbiasa hidup sangat sederhana, jauh lebih rendah dibandingkan taraf hidup masyarakat umum.
Yang masih dianggapnya sangat berharga hanyalah kulit kambing yang dijadikan alas tidur Hasan dan Husain. Hanya itulah yang diambil dan diberikan kepada kakek tua itu. Melihat tingkah Sayyidah Fatimah yang bingung, sang kakek tua itu merasa lebih lebih bingung lagi darinya, selaku pemberi. "Aku sedang lapar dan tidak punya apa-apa, tapi mengapa diserahkan selembar kulit kambing kepadaku? Buat apa?" Pikirnya.
“Wahai Putri Rasulullah. Apakah kulit kambing itu dapat mengisi perutku dan dapatkah aku menggunakannya untuk menghangatkan tubuhku?” kakek tua itu bertanya.
Fatimah tidak bisa menjawab. Dia kembali ke rumah, mencari suatu benda yang layak disumbangkan untuk sedekah, sambil bertanya-tanya: “Mengapa ayah saya mengirimkan orang ini kepada saya, padahal Ayah tahu saya tidak lebih kaya dari beliau”
Setelah berpikir sejenak, ia teringat sesuatu yang diberikan Fatimah binti Abdul Muthalib, bibinya. Barang itu sangat indah namun ia menyimpannya karena merasa tidak layak memakainya karena dikenal sebagai putri dari pemimpin umat. Benda itu adalah kalung emas.
Jadi dia segera mengeluarkan barang itu dari kotak penyimpanan dan memberikannya kepada kakek tua tersebut. Kakek tua itu membuka matanya lebar-lebar dan melihat benda yang dipegangnya. Itu hal yang indah. Ini pasti sangat mahal.
Maka dengən suka cita kakek itu pergi menemui Rasulullah di masjid. Diperlihatkannya kepada beliau kalung emas pemberian Sayyidah Fatimah. Dən Rasulullah SAW berdoa, "Semoga ALLAH membalas keikhlasannya."
Pada saat yang sama, salah satu sahabat Rasulullah yang kaya, Abdurrahman bin Auf, menyaksikan kejadian tersebut dan berkata: “Wahai pak tua. Maukah kamu menjual kalung ini padaku?”
Kakek menoleh kepada Rasulullah: “Bolehkah aku menjualnya wahai Rasulullah? “Tolong, kalung itu milikmu,” kata Nabi. Orang tua itu lantas berkata kepada sahabat Abdurrahman bin Auf, "Berikan kepadaku beberapa potong roti dan daging utk mengganjal perutku, dan sekedar biaya kepulanganku ke kampung."Lalu Abdurrahman bin Auf mengeluarkan dua puluh dinar dan seratus dirham, beberapa potong roti dan daging, pakaian, serta seekor unta untuk tunggangannya ke kampung.
Betapa bahagianya kakek tua itu krn keperluannya sudah terpenuhi melebihi harapannya. Lalu berkata, "Terima kasih, wahai kekasih Allah. Saya telah mendapatkan lebih dari apa yang saya perlukan. Bahkan saya telah merasa menjadi orang kaya."
Nabi menjawab, "Terima kasih kepada Allah dan Rasul-Nya harus diawali dengən berterimakasih kepada orang yg bersangkutan. Balaslah kebaikan Fatimah."
Orang tua itu kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas, "Ya ALLAH, aku tak mampu membalas kebaikan Fatimah dgn yg sepadan. Karena itu aku mohon kepada -Mu, berilah Fatimah balasan dari hadirat-Mu, berupa sesuatu yg tidak terlintas di mata, tidak terbayang di telinga dən tidak terdetik di hati, yakni surga-Mu, Jannatun Na'im." Rasulullah menyambut doa itu dengən ungkapan Amin seraya tersenyum ceria.
Beberapa hari kemudian, Saham, anak laki-laki Abdurrahman bin Auf, yang bernama Saham, datang kepada Nabi dengan membawa kalung yang dibelinya dari kakek tua itu.
“Ya Rasulullah,” kata Saham. “Aku datang ke sini atas perintah Tuan Abdurrahman bin Auf untuk memberimu kalung ini, dan dia memberikanku kepadamu sebagai budak.”
Rasululloh tersenyum. "Kuterima pemberian itu. Nah, sekarang lanjutkanlah perjalananmu ke rumah Fatimah, anakku. Kalung ini tolong serahkan kepadanya. Juga engkau kuberikan untuk Fatimah."
Saham lalu mendatangi Fatimah di rumahnya, dən menyampaikan pesan Rasulullah untuknya.
Fatimah dengən lega menyimpan kalung itu di tempat semula, lantas berkata kepada Saham, "Engkau sekarang telah menjadi hak ku. Karena itu, aku berhak membebaskanmu. Sekarang engkau kubebaskan. Sejak hari ini engkau kembali menjadi orang merdeka."
Saham tertawa nyaring sampai Fatimah keheranan, "Mengapa engkau tertawa, apa krn aku bebaskan?" Bekas budak itu menjawab, "Betul. Saya gembira krn dibebaskan. Tapi saya lebih bergembira krn menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke tangan berikutnya ini."
"Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri junjungan, namun karena dilandasi keikhlasan, kalung ini telah membuat kaya orang miskin, telah menjamin surga untukmu, dən kini telah merubah aku dari budak menjadi manusia merdeka." Begitulah kisahnya.
Hikmah Kisah Sayyidah Fatimah
Dari cerita diatas kita bisa mengambil pelajaran bahwa jika kita bersedekah akan membantu sesama dan meringankan yang membutuhkan. Dan Allah selalu memberi ganjaran yang sesuai dengan perbuatan yang kita lakukan, serta akan digantikan dengan yang lebih baik lagi.
Anda bisa berpartisipasi dalam program sedekah penghafal Quran bersama Laznas PPPA Daarul Qur'an. Klik di sini untuk berdonasi. Semoga Allah memberikan kesehatan dan menerima setiap amal ibadah kita. Aamiin.