Wanita Pendamba Matahari
Langkah kakinya pelan, tapi pasti menuju tepian sudut Bukit Mangunan. Pagi sekali, sejak gelap menjelang syuruq: matanya sudah berbinar, semangatnya menyala di tengah gelap subuh, dia berharap bertemu menyaksikan sinar terbit matahari di atas bukit yang beralaskan awan. Di sudut Bukit Mangunan, alhamdulillaah cuaca cerah, semilir angin menyapa terus menerus wajahnya, membawa aroma pagi dan segar dedaunan. Sesekali matanya terpejam, sesekali menatap lepas hamparan perbukitan hijau, sungai berkelok, dan Kampung Selopamioro yang tenang di kaki bukit. Dialah seorang wanita pendamba matahari, yang seringkali benar-benar meluangkan waktu untuk sinar matahari terbit dan tenggelam.
Dia telah terpesona oleh keindahan langit pagi atau sore. Barangkali karena ada darah Minang yang lekat dengan keindahan alam dan romansa kedamaian di pedalaman Sumatera Barat. Pagi yang istimewa di Mangunan. Bersama langit yang mulai menguning, awan beranjak naik di antara perbukitan, juga sungai mengalir pelan, angin berhembus sepoi. Dia menghabiskan waktu paginya di sana, wanita pendamba matahari bersama seorang gadis kecil bernama Kayla yang menemani perjalanannya sejak gelap menjelang subuh menuju satu sudut Bantul lantai dua.
Dia mencintai matahari. Matahari pagi itu hangat menyemangati, matahari sore itu teduh menaungi. Sinar matahari pagi dan sore sama saja menurutnya: ketika pagi merayakan hari, ketika sore merenungi hati. Matahari terbit dan tenggelam harus seimbang: tidak boleh terlalu banyak perayaan lupa permenungan, atau sebaliknya terlalu banyak permenungan lupa merayakan (mensyukuri) hari-hari.
Setidaknya, itulah yang saya maknai dari dua hari bersamanya, seorang wanita pendamba matahari. Tutur katanya runtut berkisah dalam tausiyah. Nasihat-nasihat menjelang akhirat diutarakan dengan urut, mengingatkan saya dan pendengarnya bahwa asali kita adalah penduduk surga. Darinya, saya belajar menata kata, menata kalimat, menata sikap ke Pencipta juga ke sesama manusia.
Wanita pendamba matahari itu adalah Astrie Ivo. Saya mengenalnya sebagai seorang tenar layar kaca, juga lewat beberapa lagu kaset pita Musica saat ciliknya dahulu pada tahun 1970-an. Seindah Mentari atau Senyum Memakan Waktu juga sangat tenar di telinga. Saya mengenalnya lewat ibu yang gemar men-stel radio tape saban hari. Astrie Ivo menjadi salah satu daftar putar favorit selain Christine Panjaitan, Broery Pesolima sampai Pance Pondaag. Layar lebar Maha Kasih: Aku Bukan Banci Kaleng juga sangat membekas di ingatan saya. Sosok peranannya sangat mudah diingat.
Barangkali, di tengah perjalanannya menutur nasihat-nasihat ke pelbagai tempat, dia akan selalu menemukan keindahan matahari yang lebih menakjubkan lagi. Dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang ramah dan baik hati. Perjalanannya menemui matahari pagi dan sore semoga memberikan wasiat tentang ada anugerah yang harus terus dijaga.
Sampai pada waktunya perpisahan dari Bu Astrie Ivo, wanita pendamba matahari, tidak memberiku nasihat, malah memberiku pengingat. Dia mengingatkan bahwa perjalanan ke Yogyakarta selanjutnya wajib sampai di garis pantai pasir putih Gunungkidul, dimana bisa men-taddaburi matahari terbit dan tenggelam bisa bersatu dengan buih deburan ombak dan sepoi angin Laut Selatan Jawa. Sehat selalu Bu Astri Ivo, biar bisa lekas kembali ke Yogyakarta dengan nasihat-nasihat terbaiknya untuk saya dan para penyimak. Semoga Allah meridoi. Aamiin.
Oleh: Maulana Kurnia Putra, S.Sos., MA.
Amil Zakat PPPA Daarul Qur’an dan Pekerja Sosial